Menyandang status aktivis merupakan sebuah prototipe yang cukup
elegan bagi seorang mahasiswa. Bagaimana tidak, kecakapan dan kematangan
berfikir biasanya lebih dekat dengan mereka yang lebih konsen didunia
organisasi mahasiswa ini. Dengan
berbagai dinamika dan proses berdealektika dalam lingkungan organisasi Aktivis
Mahasiswa lebih sering tampil dalam forum-forum publik terlebih diforum
kemahasiswaan.
Sudah barang tentu, mereka lebih dikenal dan diingat namanya
ketimbang mahasiswa yang lebih memilih untuk jauh dari hiruk pikuk organisasi.
Lebih dari itu, mereka biasanya lebih paham dan peka terh adap realitas sosial
yang bermunculan dimasyarakat. Merespon dinamika kehidupan dilingkungannya,
menjadi lahapan sehari-hari yang akan membawa mereka kepada aktualisasi
pemikiran dan keilmuan yang mereka dapatkan di lingkungan kelompoknya, Aktivis.
Namun selama satu setengah dekade terakhir, muncul pergeseran
persepsi masyarakat terhadap nilai tawar seorang aktivis. Bahkan aktivis
mahasiswa ini seolah tidak laku lagi untuk memainkan perannya dimuka publik,
alhasil ini menjadi pertanyaan tersendiri bagi aktivis, apa yang salah dengan
mereka?
Pergeseran nilai tawar ini akan lebih adil jika kita melihat
bagaimana persepsi aktivis itu sendiri terhadap peran seorang aktivis.
Artikulasi peranan seorang aktivis kini lebih condong pada pengertian mereka
yang bertahan dalam memperjuangkan ketidakadilan yang merebak dimasyarakat,
menghabiskan waktu untuk terus berdiskusi dan mengenyampingkan esensinya
sebagai mahluk yang hidup dalam tradisi akademik. Atau lebih sadis lagi entitas
mereka sebagai seorang yang memiliki tanggung jawab akademik dianggap tidak
penting. Sekarang dikalangan aktivis istilah “ Ngapain Lulus Cepat?” atau “IPK
mau jamin apa” sangat akrab dan mudah didengar.
Istilah-istilah diatas sedikit banyak mewakili pemikiran yang
tumbuh dikalangan mereka. Kendati istilah tersebut tidaklah salah, namun corak
berfikir macam ini tidaklah tepat jika mendapatkan kebenaran, terlebih
dikalangan aktivis sendiri. Bermetaforgana dengan kejayaan masa lalu perjalanan
aktivis (biasanya peran mahasiswa 98) seharusnya tidak terus menjadi acuan
gerakan , karena ada struktur sosial yang berbeda antara masa lalu dengan apa
yang dihadapi kaum terpelajar hari ini.
Aktivis yang hari ini, seharusnya mulai belajar melirik dunia
profesionalitas yang bisa mengarahkan mereka pada berbagai sektor keahlian yang
hari ini dibutuhkan. Menjaga kepekaan sosial sembari tetap konsisten terhadap
tanggungjawab terhadap kualitas akademik adalah pilihan yang seharusnya lebih
condong untuk dipilih, ketimbang membiarkan diri terkatung-katung dalam dunia
gerakan tapi lupa terhadap tanggungjawabnya didunia akademik.
Bagaimanapun juga aktivis harus menyelamatkan reputasinya dimuka
publik dengan pembuktian diri bahwa mereka matang untuk dijadikan sebagai aktor
penggerak multi sektor yang siap dipakai dan diandalkan oleh dunia professional
maupun masyarakat sipil. Pemetaan gerakan pasca status mahasiswa aktivis harusnya
jelas grand desainnya dan pemetaan tersebut harus muncul dan dimulai
oleh corak berfikir aktivis itu sendiri. Bonus demografi yang diprediksi akan
mencapai puncaknya pada tahun 2030 harusnya bisa dijadikan cerminan awal bagi
aktivis, bahwa kompetensi akan sangat menentukan dimasa kompetisi kedepan.
Belum sampai kemedan persaingan alot tersebut, pada tahun-tahun ini
persaingan akan menempati dunia professional seorang akademisi sudah terlihat.
Di provinsi Kalimantan Timur saja yang penduduknya dinilai tidak terlalu padat,
jumlah mahasiswa yang kalah bersaing alias pengangguran intelektual saja
mencapai angka 15000 orang.
Ketidaklayakan untuk diserap dalam dunia professional bahkan sampai
dikalangan masyarakat sipil, seharusnya menjadi indikator yang mendesak aktivis
ini untuk mereorientasi gerak-geriknya. Mulai dari pembacaan terhadap masa
depan, maupun sampai pada tahap perbaikan kinerjanya didunia kampus. Lulus
cepat harusnya tidak lagi menjadi hantu bagi aktivis untuk kehilangan peran
pasca mahasiswa, justru sebagai aktivis seefesien mungkin menggunakan masa
studinya dengan tetap merawat rasa pekanya terhadap realitas sosial yang ada.
Artinya peranan mereka, diberbagai sektor sangatlah penting dan dibutuhkan,
karenya kompetensi dan ketekunan belajar menjadi harga mati yang harus tetap
diteruskan.
Dunia profesional memang mengedepankan soft skill dalam melakukan
filterisasi top leadernya, namun tidak semua aktivis dapat diserap jadi top
leader, kekosongan dalam teknis agency menjadi ruang yang juga harusnya diisi
oleh alumni aktivis ini. Oleh karenya, aktivis juga harus bijak dalam
menggunakan masanya untuk terus mengasah kemapuan untuk memenangi kompetisi
yang semakin sengit kedepannya. Hal ini demi menyelamatkan wajah label aktivis,
baik itu yang masih aktif dalam dunia mahasiswa, maupun mereka yang sudah purna
mahasiswa. Semoga tulisan ini mencerahkan, untuk menggerakkan.
Ditulis oleh Editor Pembantu Dewan Redaksi LPM Gazebo
0 Komentar